Selasa, 05 Februari 2013

Kebahagiaan Seumur Hidup


Seorang anak lelaki datang ke lelang sepeda yang diselenggarakan di kantor polisi.
Sepeda-sepeda yang dilelang adalah yang ditemukan di jalan dan tidak ada yang datang untuk mengakuinya sebagai pemilik.
Setiap kali juru lelang membuka penawaran baru, anak itu berkata, “Saya menawar satu dolar, Pak.”
Tetapi akan ada orang yang menawarkan lebih tinggi, sehingga akhirnya setiap sepeda yang dilelang jatuh ke tangan orang yang menawar dengan harga tertinggi.
Dan setiap kali, anak itu selalu ikut menawar satu dolar. Ketika sepeda terakhir yang akan dilelang dibawa ke depan, anak itu berseru, “Saya menawar satu dolar, Pak.”
Penawaran naik terus dan akhirnya juru lelang mengetukkan palu pada tawaran harga sembilan dolar. Ia menunjuk ke arah anak lelaki itu yang duduk di barisan paling depan, sebagai isyarat bahwa anak itulah pemenangnya.
Kemudian juru lelang merogoh sakunya, mengambil uang sebanyak delapan dolar dan meletakkannya di atas meja. Anak itu maju, meletakkan satu dolarnya dalam bentuk recehan disamping delapan dolar tadi, mengambil sepeda barunya lalu berbalik hendak ke luar.
Tiba-tiba diletakkannya sepeda, lalu ia berbalik dan lari mendatangi juru lelang. Dipeluknya orang itu lalu ia menangis.
Jika kau menginginkan kebahagian; untuk sejam-tidurlah selama itu, untuk sehari-pergilah memancing, untuk sebulan-menikahlah, untuk setahun-warisi harta, untuk seumur hidup-tolonglah orang lain.” – Peribahasa Cina
(Chicken Soup for the Soul)

5 Cara Pikiran Positif Membawa Kedamaian dalam Hidup


Ketika kita berpikir positif, kita akan merasakan kedamaian dalam pikiran dan kesadaran kita. Kekuatan pikiran positif terletak pada kebahagiaan yang dibawanya.
Di bawah ini adalah 5 cara pikiran positif membawa kedamaian dalam hidup kita.
1. Membantu pikiran rileks
Berpikir positif merilekskan pikiran kita dan membantu kita menyingkirkan ketegangan, khawatir dan stres yang tidak perlu.
Ketika kita berpikir positif, pikiran tidak akan berada di bawah tekanan apapun, sehingga secara mental, kita lebih santai. Hal ini secara efektif membawa kedamaian dalam hidup kita.
2. Membuang emosi negatif
Berpikir positif akan membantu menyingkirkan segala macam emosi negatif seperti kemarahan, kecemasan, kecemburuan, kecurigaan, dan sebagainya. Karena tidak adanya kedamaian dalam hidup pada dasarnya disebabkan oleh semua emosi negatif.
3. Membantu konsentrasi
Dengan berpikir positif, perhatian kita tidak terosilasi antara hal-hal yang baik dan buruk, melainkan tetap fokus hanya pada hal-hal positif.
Dengan demikian, ini akan membantu kita untuk lebih berkonsentrasi pada pekerjaan, bukan membiarkan pikiran kita mengembara ke pikiran sia-sia yang sebagian besar negatif dan menyebabkan kekhawatiran.
4. Membangkitkan perasaan bersyukur
Berpikir positif membuat kita bersyukur untuk semua hal baik dalam hidup. Dan ketika kita bersyukur, kita berada dalam keadaan damai karena tidak berpikir tentang apa yang tidak kita miliki, tapi tentang apa yang kita miliki.
Dengan mengaktifkan perasaan kepuasan ini, berpikir positif akan membawa kedamaian dalam hidup kita.
5. Membuat kita bahagia
Last but not least, tujuan utama dari berpikir positif adalah untuk merasa baik tentang diri kita dan kehidupan kita. Ketika kita melakukannya, tidak ada negatif yang akan mengganggu ketenangan pikiran kita. Berpikir positif membuat kita fokus pada semua hal-hal positif dan membuat kita bahagia.
Fakta paling menakjubkan tentang berpikir positif adalah bahwa berpikir positif tidak memiliki kekurangan apapun dan tidak pernah berbahaya, bahkan ketika dilakukan berlebihan. Tapi kita tetap harus selalu realistis dan tidak memanjakan diri dalam kegilaan imajinatif. Berpikirlah positif sekaligus rasional.

Hal Kecil yang Luput dari Perhatian Kita


Di suatu acara seminar motivasi, sang motivator meminta para peserta yang menggunakan jam tangan analog untuk membantunya maju ke depan.
Lima peserta tersebut kemudian diminta meletakkan pergelangan tangan di belakang tubuh, agar jam tangan mereka tak terlihat.
Setelah memastikan bahwa semua jam tangan tak terlihat, sang motivator bertanya pada masing-masing peserta tentang usia dan harga jam tangan mereka.
Semua pemilik jam tangan ternyata ingat berapa usia dan harga jam tangan mereka, dan hampir semua jam tangan telah berusia lebih dari satu tahun.
Tersenyum, sang motivator lalu menanyakan pertanyaan kedua,
Nah, bila Anda semua ingat berapa usia dan harga jam tangan Anda, sekarang coba Anda ingat, berapa kali Anda melihat jam tangan itu setiap hari?”
Kelima peserta yang maju mengatakan bahwa mereka sangat sering melihat waktu pada jam tangan mereka. Hampir setiap satu jam sekali, bahkan bisa beberapa menit sekali jika sedang menunggu kedatangan seseorang atau bosan.
Sang motivator melanjutkan,
Anda sudah memiliki jam tangan ini dalam waktu yang lama dan sering memakainya, sering melihat waktu pada jam tangan Anda, bahkan juga ingat dengan harganya. Sekarang silahkan Anda ingat, dengan tangan Anda tetap di belakang, apakah penanda waktu pada jam tangan Anda memakai angka Arab (1, 2, 3) atau angka Romawi (I, II, III)?”
Semua peserta tampak kebingungan dan berpikir keras untuk mengingat apakah penanda waktu pada jam tangan mereka memakai angka Arab atau Romawi. Satu persatu dari mereka pun akhirnya menjawab dengan tak yakin. Setelah itu, mereka dipersilahkan melihat jam tangan mereka untuk memastikan apakah tebakan mereka benar atau salah.
Dari lima peserta,  hanya satu yang benar. Bahkan ada peserta yang menjawab bahwa penanda jam tangannya memakai angka Romawi, padahal jam tangan miliknya hanya memakai penanda strip ( - ).
Percobaan sederhana ini telah ‘menyentil’ kita. Bayangkan saja, jika dalam sehari kita melihat jam tangan kita sepuluh kali saja, sudah berapa ribu kali kita melihat penanda waktu pada jam tangan kita? Namun hal kecil ini justru luput dari pandangan kita.
Kita seringkali menerima kebaikan kecil yang berulang-ulang setiap hari dari orang-orang terdekat kita, keluarga, misalnya. Sudahkah kita berterima kasih pada mereka? Atau justru tidak sadar pada hal-hal kecil yang sebenarnya menopang hidup kita?

Menyelesaikan Masalah


Ketika kita ditimpa musibah, bencana, atau keadaan yang sulit, banyak dari kita yang meratapi nasib dan menyalahkan Tuhan.
Kenapa harus saya yang mengalami ini? Kenapa bukan orang lain saja? Apa salah saya hingga Tuhan membiarkan saya mengalami musibah ini? Bagaimana bisa melanjutkan hidup dalam keadaan seperti ini? Mengapa hidup orang lain tampak begitu mulus dan mudah? Ah, Tuhan tidak adil!
Depresi, kecewa, dan putus asa menghantui diri kita. Namun, jika mau berpikir kembali, bijaksanakah kita kalau selalu menyalahkan keadaan? Apakah masalah akan selesai jika hanya menyalahkan keadaan?
Tidak ada suatu apapun yang kebetulan di dunia ini. Segalanya telah diatur oleh Yang Maha Kuasa. Sekecil apapun kejadian itu, tentu merupakan kehendak-Nya. Tuhan selalu punya alasan mengapa Dia memberikan keadaan demikian kepada kita. Cermati, sesungguhnya Tuhan ingin Anda mempelajari hikmah dari kejadian tersebut.
Tuhan tidak akan memberi cobaan yang tidak bisa dilewati oleh hamba-Nya. Karena itu, percayalah. Mengapa Tuhan memilih Anda untuk menjalani keadaan sulit yang Anda rasakan, adalah karena Tuhan tahu bahwa Anda mampu melewatinya. Jika orang lain yang mengalami apa yang Anda alami, belum tentu mereka bisa sekuat Anda saat ini.
Setiap kesukaran yang kita alami adalah semata-mata kesempatan untuk mengasah kita menjadi pribadi yang lebih kuat. Seorang sarjana bekerja sebagai pegawai kantoran dengan gaji tiga juta per bulan. Di lain pihak, seorang berijazah SMP mampu menghidupi keluarga lewat usaha tambak ikan dengan penghasilan berkali lipat. Ya, kesulitan memperoleh pekerjaan sering kali membuat kita berpikir lebih keras, bagaimana cara memperoleh uang. Jika setiap masalah kita hadapi dengan pikiran positif, tentu hasil yang positif juga akan kita dapatkan.
Hidup adalah untuk menyelesaikan masalah. Meski tampak bahagia di luar, setiap orang pasti memiliki masalah sendiri. Ada seorang gadis berparas cantik dari keluarga berkecukupan. Apapun yang ia inginkan hampir selalu didapatkannya. Ia memiliki kekasih yang tampan dan perhatian, di samping masih banyak pria lain yang juga memujanya. Bahagiakah hidupnya? Tidak! Kedua orang tuanya telah lama bercerai, jika bertemu pun sikapnya seperti kucing dan anjing. Masing-masing telah menikah lagi. Tak ingin memilih salah satu pihak, akhirnya si gadis dan adiknya yang masih SMA, memilih untuk tinggal berdua saja.

Hati-hati Bila Tinggi Hati


Seorang cendekiawan pergi menikmati pemandangan laut sore dengan menyewa sebuah perahu nelayan dari tepi pantai. Setelah harga sewa per jam disepakati, ia dan seorang nelayan melaut cukup jauh dari bibir pantai.
Melihat nelayan terus bekerja keras mendayung perahu tanpa banyak bicara, sang cendekiawan bertanya, “Apakah Anda pernah belajar ilmu fisika tentang energi angin dan matahari?”
Tidak,” jawab sang Nelayan singkat.
Cendekiawan melanjutkan, “Ah, jika demikian Anda telah kehilangan seperempat peluang kehidupan Anda.” Nelayan itu hanya mengangguk-angguk, tanpa bersuara.
Apa Anda pernah belajar sejarah filsafat?” tanya cendikiawan lagi.
Belum pernah,” jawab nelayan itu singkat sambil menggelengkan kepalanya.
Cendekiawan pun melanjutkan, “Ah, jika demikian Anda telah kehilangan seperempat lagi peluang kehidupan Anda.”  Lagi-lagi, sang Nelayan hanya mengangguk-angguk, tanpa suara.
Apa Anda pernah belajar dan bisa berkomunikasi dengan bahasa asing?” tanya cendikiawan.
Tidak bisa.”
Aduh, jika demikian Anda total telah kehilangan tigaperempat peluang kehidupan Anda.”
Tiba-tiba, angin kencang bertiup keras dari tengah laut. Perahu yang mereka tumpangi pun hampir terguling. Namun dengan tenang nelayan itu bertanya pada cendekiawan,
Apakah Anda pernah belajar berenang di tengah lautan?”
Dengan suara gemetar dan muka pucat ketakutan, cendekiawan itu menjawab, “Tidak pernah.”
Tak diduga, sang Nelayan pun memberi komentar dengan percaya diri, “Ah, jika demikian, Anda telah kehilangan semua peluang hidup Anda.”
Apakah pelajaran yang tersirat dibalik kisah singkat ini? Bahwa alangkah tidak baiknya menjadi seorang yang sering meninggikan diri dan merasa lebih hebat dari orang lain.
Sehebat apapun kita, selalu ada orang lain yang bisa melakukan sesuatu yang tidak bisa kita lakukan. Dan betapa kita semua memiliki keterbatasan dan selalu membutuhkan orang lain.

Cara Tuhan Menjaga Kita


Konon, ada sebuah suku pada bangsa Indian yang memiliki cara unik untuk mendewasakan anak laki-laki di suku mereka. 
Bila seorang anak laki-laki dianggap cukup umur untuk didewasakan, ia akan di bawa pergi oleh seorang pria dewasa yang bukan sanak saudaranya, dengan mata tertutup. 
Seorang anak laki-laki pun dibawa jauh ke dalam hutan. Ketika hari sudah sangat gelap, tutup matanya akan dibuka, dan orang yang mengantarnya akan meninggalkannya sendirian. Ia dinyatakan diterima sebagai pria dewasa bila ia tidak berteriak, apalagi menangis hingga malam berlalu. 
Malam sangatlah gelap, ia bahkan tidak dapat melihat telapak tangannya sendiri, dan ia mulai ketakutan. Hutan mengeluarkan suara-suara menyeramkan, auman serigala, dan bunyi dahan bergemerisik. Tapi ia harus diam, tidak boleh berteriak atau menangis. Ia harus berusaha lulus dalam ujian ini. 
Satu detik terasa berjam-jam, satu jam bagaikan bertahun-tahun, ia tidak dapat melelapkan matanya sedetikpun, keringat ketakutan mulai membasahi sekujur tubuhnya. 
Ketika cahaya pagi mulai tampak, ia begitu gembira. Ia melihat sekeliling dan kemudian menjadi begitu kaget ketika ia mengetahui ayahnya berdiri tak jauh dibelakangnya, dengan posisi siap menembakkan anak panah, dengan pisau terselip dipinggang, menjagai anaknya sepanjang malam. 
Seperti sang Ayah, seperti itulah Tuhan bekerja menjaga kita. Setiap kali kita merasa hidup terlalu kejam dan bertanya-tanya mengapa Tuhan melepaskan kita ke dunia yang sulit ini, Ia sebenarnya tetap menyertai kita. 

Mengambil Alih Tugas Tuhan


Seorang anak kecil sedang bermain sendirian dengan mainannya.
Sedang asyik-asyiknya bermain, tiba-tiba mainannya rusak!
Ia mencoba membetulkannya sendiri, tapi rupanya usahanya tidak berhasil. Ia pun mendatangi ayahnya untuk memintanya membetulkan mainan itu. 
Sambil memperhatikan, ia terus memberi instruksi pada ayahnya, “Ayah, coba lihat bagian sebelah kiri, mungkin disitu kerusakannya.” Ayah menurutinya, tapi ternyata belum betul juga mainannya. 
Maka dia memberi komentar lagi, ”Oh, bukan disitu, Yah, mungkin yang sebelah kanan, coba lihat lagi.” Kali ini Ayah juga menurutinya, tapi lagi-lagi mainannya itu belum betul.
Kalau begitu coba yang di bagian depan, Yah, mungkin masalahnya ada disitu.” 
Kali ini Ayah balik berkomentar, “Sudah, kalau kamu memang bisa, mengapa tidak kau kerjakan sendiri saja? Jangan ganggu Ayah, Ayah masih harus mengerjakan yang lain.” 
Hampir putus asa karena mencoba untuk membetulkan sendiri dan masih belum berhasil, ia kembali pada ayahnya sambil merengek. “Tolonglah Yah, aku suka sekali mainan ini, kalau rusak begini bagaimana? Tolong Ayah betulkan.” 
Karena tidak tega mendengar rengekan anaknya, Ayah pun menyerah, “Baiklah. Mari Ayah betulkan mainanmu. Tapi, yang harus kamu lakukan adalah duduk dan perhatikan Ayah bekerja. Jangan menyela.” 
Ketika Ayahnya sedang memperbaiki mainannya, si anak mulai berkomentar lagi, ”Jangan yang itu Yah, sepertinya yang rusak ada di bagian lain.” 
Kali ini ayahnya berkata, ”Bila kau masih berkomentar, mainan ini akan ayah lepaskan dan silahkan kamu berusaha sendiri.” Karena takut Ayahnya akan benar-benar melakukan apa yang dikatakannya, anak itu diam dan hanya duduk manis tanpa mengeluarkan komentar apa pun. 
Seperti anak kecil itu, sering kali kita berkata berserah pada Tuhan, tapi masih ingin mengatur Tuhan tentang bagaimana sebaiknya jalan hidup kita. 
Bila kita sungguh-sungguh pasrah pada kehendak Tuhan, Tuhan yang Maha Tahu dan sangat mencintai kita akan melakukan yang terbaik, lebih dari apa yang bisa kita minta, sesuai dengan kehendak-Nya. 
Banyak manusia mengalami kegagalan dan ketidakseimbangan dalam hidup, karena sering mencoba  mengambil alih pekerjaan Tuhan.

Hidup Tidak untuk Mampir Marah-marah


Seorang Tuan kaya raya sangat menyukai bunga anggrek.
Suatu hari, ia hendak pergi berkelana. Ia berpesan pada bawahannya untuk hati-hati merawat bunga anggrek yang ditinggalnya. 
Selama kepergiannya, bunga-bunga anggrek itu dirawat penuh ketelitian.
Hingga suatu hari ketika sedang menyiram bunga anggrek tersebut, tanpa sengaja seseorang menyenggol rak pohon, membuat semua anggrek berjatuhan, pot-pot pecah berantakan dan pohon anggrek berserakan. 
Semua orang ketakutan, menunggu tuan mereka pulang dan segera meminta maaf dan pasrah menunggu hukuman. 
Setelah sang Tuan pulang dan mendengar kabar itu, ia memanggil para bawahannya. Namun ia tidak marah. Ia bahkan berkata, 
Alasan pertama aku menanam bunga Anggrek adalah untuk dipersembahkan pada orang yang suka pada keindahan Anggrek. Dan yang kedua adalah untuk memperindah lingkungan di daerah ini. Aku menanam anggrek bukan untuk sekedar marah-marah.” 
Walau sangat menyukai bunga Anggrek, dihatinya tidak ada rasa keterikatan. Sehingga ketika harus kehilangan bunga-bunga Anggreknya, tidak ada kemarahan dalam hatinya. 
Terlalu banyak yang kita khawatirkan tentang memiliki dan kehilangan suatu barang dan materi. Ini menyebabkan ketidakstabilan emosi. Dan pada gilirannya, membuat kita merasa tidak bahagia. 
Alangkah baiknya, ketika emosi tinggi dan hendak bertengkar, dengan siapapun, ingatlah, kita dianugrahi hidup dan mampu menjalani hidup bukan untuk sekedar marah. Masih banyak yang bisa kita pedulikan selain sekedar marah-marah.

Filosofi Setoples Penuh Kehidupan


Seorang Professor berdiri di depan kelas Filsafat. Saat kelas dimulai, ia mengambil toples kosong dan mengisinya dengan bola-bola golf.
Kemudian ia bertanya, “Apakah toples ini sudah penuh?” Murid-muridnya serempak mengiyakan tanda setuju. 
Kemudian profesor itu menuangkan batu koral ke dalam toples, mengguncangnya dengan ringan. Batu-batu koral pun mengisi tempat kosong di antara bola-bola golf. Kemudian ia bertanya, “Apakah toples ini sudah penuh?” Lagi-lagi mereka setuju. 
Selanjutnya ia menabur pasir ke dalam toples. Tentu saja pasir menutupi semuanya. Profesor sekali lagi bertanya, “Apakah toples ini sudah penuh?” Para murid menjawab dengan mantap, “Ya, Sir!” 
Kemudian ia menuangkan dua cangkir kopi ke dalam toples dan secara efektif mengisi ruangan kosong di antara pasir. Melihat itu, murid-muridnya tertawa. 
Sekarang, saya ingin kalian memahami bahwa toples ini mewakili kehidupan kalian. Bola-bola golf adalah hal yang penting; Tuhan, keluarga, anak-anak dan kesehatan. Jika yang lain hilang dan hanya tinggal mereka, maka hidupmu masih tetap penuh.” 
Ia melanjutkan, “Batu-batu koral adalah hal-hal lain, seperti pekerjaanmu, rumah dan mobil. Dan pasir adalah hal-hal sepele. Jika kalian pertama kali memasukkan pasir ke dalam toples, maka tidak akan tersisa ruangan untuk batu-batu koral ataupun bola-bola golf.” 
Hal yang sama akan terjadi dalam hidup kalian. Jika kalian menghabiskan energi untuk hal-hal sepele, kalian tidak akan memiliki ruang untuk hal-hal penting. Beri perhatian untuk hal-hal yang penting bagi kebahagiaan kalian.” 
“Bermainlah dengan anak-anakmu, luangkan waktu untuk check-up kesehatan, ajak pasanganmu keluar untuk makan malam. Berikan perhatian terlebih dahulu pada bola-bola gol, hal yang benar-benar penting. Atur prioritasmu. Baru yang terakhir, urus pasirnya.” 
Salah satu murid mengangkat tangan dan bertanya, “Kopi mewakili apa, Sir?” 
Profesor tersenyum, “Saya senang kamu bertanya. Itu untuk menunjukkan pada kalian, sekalipun hidupmu tampak sudah sangat penuh, tetap selalu tersedia tempat untuk secangkir kopi bersama sahabat.”